Untuk-Mu

Lantun lagu meredup

di kesunyian malam yang larut

angin menelisik dedaun

mengisi kalut malam berpagut

pelahan cahaya meremang

di antara gugusan bintang

kutemu lantunan Qur’an

membimbing menuju jalan keluar

Di sunyi ini

aku serukan dzikir atas nama-Mu

kupasrahkan seluruh hidup dan matiku

hanya untuk-Mu

dari rahim-Mu segala bermula

pada-Mu jua segala bermuara

Leave a comment »

Mengejamu

Mengejamu kini
seperti menanti hujan di tengah kemarau panjang
ada kelelahan, pun juga pengharapan

mengejamu kembali
di antara bulir-bulir tetesan embun di pagi hari
di antara semilir angin yang menerjang kabut pagi

Waktu yang membekukan antara
tak memberikan ruang bagi celah
terus memaksa kaki kita berlari jauh ke depan
tanpa menoleh lagi ke belakang

Ketika waktu juga yang akhirnya
menautkan kembali
relung-relung itu tetap saja beku
tak ada yg bisa dijalin lagi
karena tak satupun dapat terkendali
tak dimengerti

Mengejamu lagi
adalah membiarkan hujan turun di musimnya
menyalakan api ketika gelap menjala malam
dan memandang matahari terbenam di senja kala

Leave a comment »

Dalam Meditasiku yang Belum Sempurna

Awalnya hening
Hanya ada malam yang berirama
Nafas yang kian larut di dalam alunannya
Lalu kudengar suara angin
mengabarkan aroma anyir
dan lagi sebuah pertentangan terjadi
di tempat yang semula kudapati sebagai tempat yang nyaman
meski sejenak terkesiap
tanda tanya tak juga temui jawab
kucoba larutkan lagi
nafas dalam irama
namun keresahan menggeliatkanku
suara-suara yang tak jelas dan semakin membahana
hening yang kurindu
lebur dalam porak poranda..

Leave a comment »

Hujan

Hujan yang datang tanpa pesan

Ia meninggalkan sebuah tanda

Genangan airnya merambat kemana-mana

Tanah basahnya tak mungkin menjadi lupa

Rintiknya tajam menghujam kalbu

Mengiris sembilu

Aku tahu sejak gerimis terakhir

di syairmu yang kau ukir, kabut menggulung sepi

terpenjara getir yang satir

tapi ini bukan hujan penghabisan

sebab ia akan selalu datang tanpa diundang, tanpa diminta

dan tak pernah meninggalkan pesan

 

Comments (2) »

Dua Matahari

Dua matahari di atas  kepalanya

Ketika letupan-letupan senjata membahana di tiap sudut-sudut pendengaran

Langkah kian renta

Ketika pintu-pintu pembebasan tak meruang bagi jiwa-jiwa

Yang berkarat, yang sekarat, yang haus darah

Tembol terjal, bukit berbatu, peluh yang berleleran di sepanjang lenguhan

Lelaki tanpa kata-kata

Di sudut kota yang lengas

Masih ada dua matahari

di atas kepalanya..

Comments (2) »

Lagu Burung-burung

: BR

Ada lagu burung-burung di atas dahan

Ketika pagi membelah cakrawala

Sapuan warna langit merah menyala

Ada yang merekah di sela jari jemari

Kala kusambut senyummu sehangat mentari

Dan rasa yang terbersit dalam hati

Adalah gema takbir Illahi

Kuasa yang hidup dan menghidupkan kita

Dalam langkah yang tak mampu kita pahami

Dan jemari saling terkait

Menapaki hari

Tulus kusambut hangatmu

Dalam percikan nuansa pagi

Bersama lagu burung-burung

Yang hinggap di atas dahan

Comments (3) »

L A R U T

Angin menerbangkan bulu-bulumu

menjauh,

meninggalkan luka-luka yang tersia

mengentaskan kelam yang nestapa

Birlah deru lagu berlalu

dienyahkan tapak sang waktu

tapi hidup adalah memberi arti

pada apa yang masih bisa diresapi

Dan aku melarut

dalam resapan sang waktu

Comments (2) »

SAJAK I

Angin menderu

Saat ditasbihkannya namaku

Di atas gelepar ragamu

 

Jutaan badai pasir

Berhamburan dalam gema dzikir

Perahu terguncang di pesisir

 

Lalu diam diantara retak yang lindap

Kandas dalam peluh tak berdekap

Aku mematung dalam senyap

 

Comments (2) »

Di Pantai

Kusapu ombak yang membelai wajahmu

Ketika angin membawa kabar ke hilir

dinding-dinding pecah

jendela-jendela kaca terbelah

dingin menyentuh ubin rumah

 

kuseret perahu yang terdampar di pantaimu

 kala pasak terbenam jauh di kedalaman buih

dan pada gelombang yang menghantam karang

 kukecup asinnya lautmu

Comments (2) »

Di Beranda

: MZA

Menatap awan putih
Yang lalu turun menjadi tetes-tetes air
Kita sama terpaku
Di sini, di beranda kata
Tempat di mana kita
tak pernah merasakan asing dan keringnya cuaca
Ketika hujan kata-kata itu jatuh
Luruh di pangkuan waktu

Masih lekat pandangmu di mataku
Ketika kububuhkan tanda titik di ujung kalimatku
Lalu kau gelengkan kepalamu
Dengan lembut, menghapus tiap tiap huruf yang kutulis
Lalu tersenyum kepada angin
Yang alirnya menerbangkan kata-kata usang

Sungguh, aku tak hendak mengaduh
Ketika tanah menyerap segala air yang tergenang di atasnya
Tapi jangan kau usik kata
Yang di dalamnya tengah kuikat sebuah makna

Tegak kau berdiri
Berlalu ditengah derasnya hujan kata-kata
Deru angin mengaburkan pandangku
Namun masih dapat kueja huruf-huruf yang kau tinggalkan dijejakmu
: Mencintai sepenuh hati
Tak mesti harus saling memiliki

Comments (2) »